Minggu, 01 Januari 2012

AISYAH BINTI ABU BAKAR ASH-SHIDDIQ

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
 Aisyah binti Abu Bakar (ibu orang-orang beriman), istri nabi Muhammad ke-3, dan merupakan putri dari Abu bakar sidik, sahabat nabi. Nama Aisyah binti Abu Bakar bin Utsman, biasa dipanggil Ummu abdillah, dan digelari ash shadiqah (wanita yang membenarkan). Nabi sering memanggilnya dengan Al Humaira’, karena warna kulitnya yang putih. Lahir pada tahun ke-4 atau ke-5 setelah kenabian. Nabi menikahi Aisyah pada tahun 2 H, saat ia berusia 9 tahun. Aisyah adalah istri yang paling dicintai Rasulullah, dan paling banyak merawikan hadits beliau. Ia merawikan 2210 hadits, 297 diantaranya terdapat dalam kitab Shahi al Bukhary dan Shahih Muslim. Ia meningal di Madinah pada usia 66 tahun (tahun 58 H), dan dimakamkan di pemakaman baqi’
Fatimah az-zahrah, putri Nabi Muhammad ini begitu menghayati pesan ayahandanya, sehingga ia menjadi wanita agung, pribadinya amat mempesona bagi nabi Muhammad. Kenapa Fatimah Az-Zahara begitu agung pribadinya dan indah hatinya ? Betapa tidak ? ada Dua bibit baik yang berkumpul dalam diri Fatimah Az-Zahra, dari Khadijah dan Nabi Muhammad Saw sendiri. Dipercantik oleh wasiat dan nasihat yang senantiasa dituturkan oleh nabi kepada Fatimah. Ia lakukan , sehingga berbuah peranggai yang mulia dan menyejukan.


B.     Rumusan Masalah
1.      Biografi singkat aisyah  binti abu bakar ash-shiddiq
2.      Sejarah hidup dan latar belakang pendidikan aisyah binti abu bakar ash-shiddiq
3.      Fatimah binti rasulullah saw
4.      Sejarah fatimah az zahra
5.      Tasbih az zahra dan keutamaannya




BAB II
PEMBAHASAN

A.    BIOGRAFI SINGKAT AISYAH  BINTI ABU BAKAR ASH-SHIDDIQ[1]
Aisyah r.a binti Abu Bakar adalah istri ketiga Nabi Muhammad SAW dan beliau diberi nama julukan ash-shiddiqah “perempuan yang benar dan lurus“ beliau juga dipanggil Ummul Mu’minin dan diberi julukan Ummu Abdullah, mengikuti nama keponakannya Abdullah bin Zubair. Ada riwayat yang menyebutkan bahwa nama panggilannya adalah Humairoh, tetapi Rasul lebih sering memanggilnya Bintush-Shiddiq putri dari laki-laki yang benar dan lurus.[2]
Dialah Aisyah  Binti Abu Bakar ash-Shiddiq bin Abu Quhafah. Wanita keturunan suku quraisy ini menikah dengan Rasulullah saw. Di Mekah pada usia enam tahun. Ada yang mengatakan, pada usian tujuuh tahun. Dan baru digauli oleh Rasulullah di Madinah ketika ia berusian Sembilan tahun, tapi ada yang mengatakan sepuluh tahun.[3]
Aisyah dilahirkan di Mekkah pada bulan Syawal tahun kesembilan sebelum hijrah dan bertepatan pada bulan Juli tahun 614 M yaitu akhir tahun kelima setelah Nabi Muhammad SAW diangkat menjadi Rasul. Ada juga yang menyebutkan Aisyah lahir pada tahun keempat-kenabian Muhammad saw.[4] Aisyah mempunyai saudara kandung laki-laki yaitu Abd. Ar-Rahman, dua saudara tiri laki-laki yaitu Abdullah dan Muhammad dan dua sudara tiri perempuanyaitu Asma’dan Umm Kulsum. Aisyah tumbuh dan dibesarkan dilingkungan Arab yang masih murni, sebab ayahnya telah menyerahkannya kepada orang Arab Badui untuk diasuh, beliau diasuh oleh sekelompok Bani Makhzum dan beliau juga tumbuh dan berkembang dilingkungan islam yang ketat dan dalam keluarga yang utuh sebab beliau dilahirkan setelah islam datang.
Aisyah lahir pada tahun keempat-kenabian Muhammad saw. Ibunya bernama Ummu Rauman binti  amit bin Uwaimir. Rasulullah menikahi Aisyah dengan mas kawin sebesar empat ratus dirham, dan dialah  istri yang paling dicintai oleh Rasulullah saw. diantar istri-istrinya yang lain. Dia bisa dipanggil dengan panggilan Ummu Abdillah, mengambil nama keponakannya yaitu anak asma’, adik perempuannya. Aisyah meriwayatkan 2210 (Dua Ribu dua ratus sepuluh) hadits dari Rasulullah saw.
B.      SEJARAH HIDUP DAN LATAR BELAKANG PENDIDIKAN AISYAH BINTI ABU BAKAR ASH-SHIDDIQ
Bangsa Arab tidak memiliki tradisi akademis yang bagus, menuntut ilmu merupakan kegiatan yang kurang disukai oleh kalangan laki-laki apalagi perempuan. Ketika islam datang, hanya belasan orang yang mampu membaca dan menulis salah seorang diantara mereka ialah perempuan yaitu Syifa’ binti Abdullah al-Adawiyah.
Pengembangan dan penyebaran kemampuan baca tulis adalah salah satu berkah dunia paling penting yang dibawa islam. Itulah persembahan dari islam bagi seluruh umat manusia, salah satu bukti yang memperlihatkan islam dalam hal itu adalah peristiwa yang terjadi setelah perang Badar. Ketika Rasulullah memerintahkan para tawanan perang yang tidak memiliki harta benda untuk menebus mereka dengan mengajarkan kemampuan menulis pada anak-anak Anshar. (HR. Ahmad, Baihaqi dan Hakim) Diantara istri-istri Rasulullah hanya Hafsah dan Ummu Salamah yang bisa membaca dan menulis, Hafsah mempelajarinya dari Syifa al-Adawiyah. (HR. Abu Daud, Ahmad, Baihaqi dan Ibnu Abi Syaibah) Ayah Aisyah, Abu Bakar merupakan orang Quraisy yang paling dalam pengetahuannya tentang geneologi dan syair Arab. Karena itu syair yang diubah oleh para penyair islam untuk menjawab ejekan para penyair kaum kafir Quraisy selalu terlebih dahulu dikonsultasikan kepada Abu Bakar.
Aisyah tumbuh dibawah asuhan ayah yang luar biasa. Dalam banyak hal Aisyah menyerupai Abu Bakar, tetapi persamaan yang paling menonjol diantara mereka adalah kecerdasan otak dan kematangan fikiran. Kecerdasan Aisyah tidak bisa dibilang berada dibawah kecerdasan Abu Bakar, bahkan bisa dikatakan bahwa Aisyah tidak berada dibawah siapapun laki-laki maupun perempuan yang hidup pada masanya dalam kecepatan berfikir. Kemampuan memahami serta penguasaan terhadap apa yang berada didalam pikirannya.
Dalam bidang sastra dan geneologi Aisyah juga belajar dari ayahnya. Ia tercatat memiliki hasrat yang kuat untuk mempelajari sejarah bangsa, keluasan pengetahuan Aisyah tampak dengan jelas dalam caranya berbicara dan mengungkapkan gagasan. Ia dikenal dengan gaya bahasa yang indah yang tidak mungkin dimiliki oleh siapapun tanpa menguasai warisan tradisi bangsa Arab dari sumber-sumber aslinya. Aisyah mewarisi kemampuan ayahnya dalam bidang sastra dan syair. Dari ayahnya pulalah Aisyah mewarisi perasaan yang halus dan bakat yang luar biasa.
Aisyah baru merasakan pendidikan akademis yang sebenarnya ketika ia mulai kehidupan berumah tangga bersama Rasulullah. Ia mulai belajar menulis dan membaca termasuk memmbaca Al-qur’an, diluar semua itu kemampuan menulis dan membaca sebetulnya merupakan bagian dari pembelajaran dari sifat lahiriyah, Aisyah diberkahi dengan kesempatan dan kemampuan yang sangat besar dalam mempelajari ilmu-ilmu yang esensial itu, tidak saja dalam ilmu-ilmu agama Aisyah juga mempelajari ilmu-ilmu sejarah, pengobatan dan sastra.
Urwah menyatakan tidak pernah kulihat seseorang yang pengetahuannya seperti Aisyah, Ummul mu’minin dalam hal-hal halal haram, ilmu pengetahuan syair serta pengobatan.(HR. Hakim)
Ilmu pengobatan yang dipelajari Aisyah dari utusan-utusan kabilah Arab yang berniat untuk Rasulullah SAW ketika beliau sakit menjelang wafat. Aisyah mempelajari ilmu pengobatan dari kabilah-kabilah Arab yang datang dan memberikan resep pengobatan untuk beliau. Aisyah berkata:”Akulah yang membuat resep itu dan dari sana aku belajar”.
            Tidak ada waktu atau jam pelajaran tertentu bagi Aisyah untuk belajar, ia tinggal bersama Rasulullah dan memiliki kesempatan untuk menemani beliau sepanjang siang dan malam. Selain itu majelis-majelis ilmu dan dakwah selalu diadakan di masjid Nabawi setiap hari sementara kamar Aisyah berdempetan dengan masjid. Setiap kali ada persoalan yang tidak kita pahami atau ia dengar tidak baik, Aisyah selalu menanyakan kepada Rasulullah dirumah. Dalam beberapa kesempatan, Aisyah mendekat ke masjid agar ia dapat menyimak dengan jelas ajaran yang disampaikan oleh Rasulullah SAW. Dengan begitu Aisyah memiliki banyak kesempatan untuk mempelajari sunnah-sunnah Rasul tentang banyak hal diberbagai bidang pengetahuan.
            Berdasarkan hadits-hadits tampak dengan jelas mengajarkan kepada Aisyah hukum-hukum agama serta persoalan-persoalan syariat dalam berbagai bidang, Aisyah mempelajari dengan penuh semangat, dengan telinga terbuka dan hati sadar, iapun kemudian mengamalkan ajaran-ajaran itu secara tekun dan konsisten.
Salah satu contoh ketekunan Aisyah dalam menjalankan ajaran-ajaran Rasululllah tercermin pada pernyataannya,”Aku tetap melaksanakan sholat (dhuha) seperti aku melakukannya pada zaman Rasulullah, seandaikan ayahku dibangkitkan kembali lalu ia melarangku untuk melaksanakan sholat itu, maka aku tidak akan mengindahkan larangan-Nya”(HR.Ahmad) Orang terpenting yang meriwayatkan dari siti Aisyah secara mutlak yaitu Urwah bin az Zubair bin al-Awwam. Dia adalah putra Asma bin Abu Bakar as-Shiddiq, ia telah meriwayatkan 75% riwayat Aisyah. Orang lain yang meriwayatkan Aisyah adalah al-Qosim bin Muhammad bin Abu Bakar as-Shiddiq yang dipelihara oleh Aisyah setelah ayahnya terbunuh.
Aisyah ra. Pernah mengikuti berbagai peperangan. Bahkan dia lah yang menyulut meletusnya perang Jamal-yang sangat terkenal dalam sejarah Islam. Ceritanya sebagai berikut .
            Aisyah sedang pulang dari Mekah dan Madinah. Ketika sampai di daerah Raff, ia bertemu dengan salah seorang pamannya dari suku Laits bernama Ubaid bin abu salamah yang Nampak murung.
Aisyah berkata: “Kenapa kamu Nampak sedih?”
Ubaid  menjawab: “Ustman dibunuh. Dan mereka berada di sana selama  delapan hari.”
Aisyah bertanya: “Lalu apa yang mereka lakukan?”
Ubaid menjawab :”sekarang ini mereka berkumpul untuk membai’at Ali.”
Aisyah berkata: “Demi Allah sekiranya Khalifah yang ini (Ali) cocok menggantikan Ustman, tentu urusan temanmu itu akan lancar. Sekarang mari ikut aku.”
Aisyah lalu bertolak ke Mekah seraya mengatakan: “Demi Allah, Ustman dibunuh secara aniaya. Dan aku harus menuntut balas atas darahnya.”
Ubaid bertanya: “Kenapa Anda berkata seperti itu? Sesungguhnya orang pertama yang memancing gejolak terhadapnya juga anda sendiri. Bahkan Anda juga pernah menyuruh untuk membunuh Na’tsal, seorang penduduk Mesir yang miripdengan Ustman, karena ia Kafir.”
Aisyah berkata: “sesungguhnya mereka sudah memintanya bertaubat. Tetapi toh mereka tetap membunuhnya. Aku sudah berkata, dan mereka juga sudah berkata. Dan perkataanku yang terakhir lebih baik daripada perkataanku yang pertama.”
          Aisyah lalu melanjutkan perjalanan ke Mekah. Ia memasuki pintu masjid dan menuju ke Al-Hijr. Ia singgah di daerah ini sambil memasang tabir, dan orang-orang berkumpul mengelilinya. Ia lalu berkata: “Wahai semua manusia! Sesungguhnya para perusuh dari Mesir, Yaman, dan kaum budak penduduk Madinah saat ini sedang berkumpul untuk menghadapi segala kemungkinan setelah mereka membunuh Ustman secara licik, dengan memanfaatkan orang-orang yang masih muda, seperti yang mereka lakukan sebelumnya. Mereka juga sudah menyiapkan tempat perlindungan. Ini jelas rencana yang sudah dirancang matang sebelumnya, dan yang tidak mendatangkan kebaikan.
          Mereka awalnya bisa dicegah dan diminta untuk mengadakan perdamaian. Tapi manakala sudah tidak menemukan argumen dan alasan, mereka menjadi berontak dan melancarkan permusuhan. Mereka menumpuhkan darah yang haram untuk ditumpahkan. Mereka menganggap halal-negeri yang haram, bulan yang haram, dan juga merampas harta yang haram. Demi Allah, satu jari Ustman itu lebih baik daripada satu lapis bumi yang mereka huni. Carilah keselamatan dengan tidak berkumpul dengan orang-orang seperti mereka.”
          Abdullah bin Amir al-Hadhrami seorang gubernur Ustman di Mekah berkata: “Gubernur Ustman di Mekah adalah aku. Maka aku lah orang pertama yang akan mencari pembunuh Ustman.”
          Dia lah orang pertama yang memenuhi seruan Aisyah. Kemudian ia diikuti orang-orang dari keluarga Bani Umayyah. Dan itulah yang menyulut api peperangan yang cukup panjang.
          Ketika para pendukung Ali tiba di daerah Al-Marid, dan ikut bergabung pula beberapa orang lain serta penduduk Bashrah Yang dipimpin oleh Gubernur Bashrah, Ustman bin Hanif, dengan suara lantang Aisyah berkata: “orang-orang yang sama telah melakukan tindak kejahatan terhdsap Ustman bin Affan. Mereka menuduh para pembantu Ustman di Madinah sama Berbohong.”
          Ia lalu membaca firman Allah surah Ali Imran ayat-23, “tidakkah kamu memperhatikan orang-orang telah diberi bahagian yaitu Alkitab (Taurat), mereka diseru kepada Kitab Allah…”
          Aisyah adalah wanita yang sangat-fasih dalam berbicara sehingga terasa enak bagi orang-orang yang mendengar.[5]
          Pada perang Jamal-Aisyah juga mengatakan: “Wahai manusia, tenanglah! Sebagai seorang ibu, aku berkewajiban memberikan nasehat kepada kalian. Tidak ada yang menaruh curiga kepadaku selain orang yang durhaka kepada Tuhannya. Rasulullah saw. Wafat-di pangkuanku, dan aku adalah salah seorang istrinya di surge nanti. Tuhanku telah menjelaskan kepadaku, bahwa aku punya keistimewaan di antara kalian, yang munafik maupun yang beriman. Karena aku lah maka Allah memberikan kemurahan kepada kalian di tanah Al-Abwa’.
Kemudian ayahku, orang ketiga yang beriman, yang berdua bersama Rasulullah saw. Di gua Tsur, dan yang pertama diberi gelar Ash Shiddiq. Rasulullah saw. Dalam keadaan ridha terhadap ayahku. Dan memakaikan peci kepemimpinan kepadanya. Ketika tali agama bergetar, dial ah yang menenangkannya dan menumpas gerakan kemunafikan. Dia pula yang menghentikan gerakan kemurtadan serta memadamkan api fitnah yang disulut oleh orang-orang Yahudi. Pada waktu itu kalian masih terlalu hijau. Kalian hanya bias melihat-pengkhianatan dan mendengar jeritan, tanpa sanggup berbuat apa-apa.
Dan sesudah memanggil ayahku untuk selamanya, setelah ia berjuang melawan hantu-hantu kemunafikandan menentang api peperangan yang dikobarkanoleh orang-orang musyrik, Allah lalu menguasakan urusan kalian kepada seseorang yang sangat-setia, terpercaya, santun sabar meski selalu disakiti orang-orang yang bodoh, dan yang rajin bangun tengah malam demi membela islam (Umar bin Khaththab). Ia menempuh jejak pendahuluannya dalam meredam fitnah dan menghimpun persatuan seperti ia menghimpun Al-Quran.
Sekarang ini aku sedang menghadapi masalah. Aku tidak mencari-cari kesalahn. Aku juga tidak ingin mengelapkan fitnah yang kalian injak-injak. Aku katakan ini dengan sejujurnya dan seadil-adilnya sebagai sebuah peringatan. Aku  mohon kepada Allah semoga dia selalu berkenan melimpahkan ramat-kepada Muhammad, dan memberikan ganti seorang khalifah yang baik di tengah-tengah kalian.”
Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar bercerita: “Ketika Abu Muhammad bin Abu Bakar terbunuh di Mesir, Abdurrahman bin Abu Bakar pamanku datang. Ia memboyong aku dan adik perempuanku dari Mesir. Ia membawaku ke Madinah. Kami lalu diundang oleh Aisyah. Ia memboyong kami dari kediaman Abdurrahman ke rumahnya. Aku melihat-lihat tidak ada seorang ibu pun yang lebih baik daripda Aisyah. Kami tetap tingggal-di rumah, sampai akhirnya kami dikirim lagi ke rumah pamanku Abdurrahman.[6]  
Aisyah ra. Adalah wanita paling fasih pada zamannya. Ia juga paling hafal-Hadits. Beberapa perawi, baik laki-laki maupun wanita, meriwayatkan hadits darnya. Setiap kali berhasil meriwayatkan hadits dari Aisyah, Masruq menagtakan: “Aku baru saja mendapatkan riwayat-hadits dari seorang wanita yang jujur, putrid dari seorang lelaki yang jujur. Sebagian besar sahabat-juga biasa bertanya kepada Aisyah tentang masalah ibadah-ibadah fardhu.”
Atha’ bin Rabbah mengatakan: “Aisyah adalah orang yang sangat-cerdas dan sangat-brilian pendapatnya tentang masalah-masalah menyangkut orang awam.”
Urwah mengatakn: “Aku tidak melihat-ada orang yang begitu menguasai fiqih, kedokteran, dan sya’ir melebihi Aisyah.
Aisyah meninggal-dunia pada tahun 57 H. ada yang mengatkan, ia meningggal-dunia pada tahun 58 H[7], malam selasa 17 Ramadhan. Ia berpesan agar jenazahnya dikebumikan di pemakaman Baqi’ pada malam hari. Setelah acara pemakaman. Abu Hurairah menshalati jenazahnya. Adiknya (Muhammad bin Abu Bakar) turun ke liang lahat-Aisyah bersama anak dan keponakannya pada jasadnya dibaringkan bersama-sama dengan ibu-ibu kaum mukminin, istri-istri Nabi saw. Yang lain. Di dalam kitab Shahih al-Bukhariy diterangkan bahwa Aisyah mewasiatkan kepada Abdullah bin Zubair, anak Asma, kakaknya, agar beliau dikuburkan bersama-sama dengan rekan-rekannya di Pekuburan Baqi’.[8]
C.    FATIMAH BINTI RASULULLAH SAW.[9]
            Fatimah lahir lima tahun sebelum orang-orang Quraisy membangaun Kembali Ka’bah. Ia adalah putri bungsu Rasulullah dari istri beliau Khadijah binti Khuwailid. Pada waktu itu Rasulullah berusia 35 tahun.
            Rasulullah saw. Sangat mencintai Faimah, lebih dari cinta beliau kepada putra-putrinya yang lain. Fatimah menikah dengan Ali bin Abu Thalib pada bulan Ramadhan tahubn ke-2 hijriyah, dan ia diboyong oleh Ali pada bulan Dzul hijjah di tahun yang sama.
            Diriwayatkan dari Anas: “Aku berada di samping Rasululah. Tiba-tiba beliau pingsan saat-turun wahyu. Begitu siuman  beliau bersabda: “Hai Anas, tahukah kamu apa tadi yang dibawa oleh jibril alahis salam dari Tuhan sang Pemilik Arasy-Yang Mahamulia, Mahaagung, dan Maha Tinggi?’ Aku Bertanya: ‘Ayah dan Ibuku menjadi tebusan Anda, apa yang baru saja dibawa oleh Jibril kepada anda?’
            Beliau bersabda,: “Tadi Jibril berkata kepadaku, sesungguhnya Allah Yang Maha Memberkahi Lagi Maha Tinggi menyuruh aku untuk menikahkan Fatimah dengan Ali. Sekarang kamu undang Aub Bakar, Umar, Usman. Thalhah, Zubair, dan beberapa sahabat Anshar ke sini.’
            Aku segera berangkat-untuk mengundang mereka. Setelah mereka mengambil tempat duduk masing-masing, Rasulullah saw. Bersabda: “Segala puji Bagi Allah yang dipuji karena nikmat-Nya, yang disembah karena kemampuan-Nya, yang ditaati karena kekuasaan-Nya, yang ditakuti karena siksa-Nya, yang melaksanakan perintah-Nya di bumi serta di langit-Nya, yang menciptakan makhluk dengan kekuasaan-Nya, yang membedakan mereka dengan keputusan-keputusan-Nya, yang mengangkat-derajatnya-mereka dengan agama-Nya, dan yang memuliakan mereka dengan nabi-Nya Muhammad. Sesungguhnya Allah menjadikan hubungan mushaharah sebagai ketetapan yang adil, dan sebagai kebajikan yang manfaatnya mencakup seluruh kerabat-serta seluruh umat manusia. Sesungguhnya Allah Mahamulia lagi Mahaagung Berfirman: ‘Dan dia (pula) yang menciptakan manusia dari air lalu Dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah dan adalah Tuhanmu Mahakuasa.’
            Allah memberlakukan qadha’-Nya, dan qadha’ Allah berlaku terhadap takdir-Nya. Setiap qadha’ itu sudah ditentukan, setiap ketentuan itu ada batas waktunya, dan setiap ajal-itu ada Kitab. Allah menghapus dosa yang dikehendaki dan ditetapkan-Nya. Dan di sisi Allahlah Ummul kitab.
            Selanjutnya Allah menyuruhku untuk menikahkan Fatimah dengan Ali. Dan Aku minta kalian semua menjadi saksi bahwa aku menikahkan Fatimah dengan Ali dengan mas kawin sebesar empat-ratus mitsqal-perak jika ia memang setuju, atas dasar sunnah yang ada kewajiban yang berlaku. Semoga Allah meghimpun mereka, memberkahi  mereka, dan memberi mereka keturunan yang baik. Semoga Allah menjadikan keturunan mereka sebagai kunci rahmat, sumber hikmah, dan tempat-berlindung umat. Aku katakana ini, dan aku memohon ampunan untuk kita semua.’[10] 
            Pada waktu itu Ali bin Abu Thalib tidak ada, karena ia sedang diutus oleh Rasulullah saw. untuk mengurus suatu keperluan. kemudian beliau menyuruh pelayan untuk menhgeluarkan satu baki makanan berupa kurma. Beliau sendiri yang menyuguhkan di hadapan kami seraya bersabda: ‘ayo santaplah.’
            Pada saat kami sedang menyantap suguhan, tiba-tiba Ali datang. Rasulullah tersenyum melihatnya dan bersabda,: ‘Hai Ali, sesungguhnya Allah menyuruhku untuk menikahkan kamu dengan Fatimah. Dan Aku sudah menikahkanmu dengan maskawin sebesar empat-ratus mitsqal-perak.’
            Ali menjawab: ‘Aku setuju, Wahai Rasulullah.’
            Selanjutnya Ali langsung bersujud sebagai ungkapan rasa syukurnya terhadap kepada Allah.
            Begitu Ali mengangkat-kepala, Rasulullah saw. bersabda,: ‘Semoga Allah memberkahi kalian, membahagiakan kalian, dan melahirkan dari kalian keturunan yang banyak.’
            Ternyata Ali dan Fatimah memang melahirkan keturunan yang banyak.”






D.    SEJARAH FATIMAH AZ ZAHRA
Sebagian besar sejarawan Syiah dan Ahlussunah meyakini bahwa Fatimah az Zahra dilahirkan pada 20 Jumadil Tsani, tahun kelima diutusnya Nabi saw di Mekkah al Mukarramah. Sebagian sejarawan bahwa beliau lahir pada tahun ketiga atau kedua diutusnya Nabi saw. Seorang sejarawan dan ahli hadis Sunni berpendapat bahwa Fatimah lahir pada tahun pertama diutusnya Nabi saw. Jelas sekali bahwa menyingkap fakta seputar hari lahir dan hari wafat tokoh-tokoh besar dalam sejarah meskipun dari sudut pandang sejarah dan penelitian berharga dan patut dijadikan bahan kajian namun dari sisi analisa kepribadian tidaklah begitu penting. Yang penting dan utama adalah peran mereka dalam menentukan nasib manusia dan sejarah. Patut direnungkan bahwa Fatimah az Zahra terdidik di madrasah ayahnya, Rasul saw yang notabene adalah rumah kenabian. Sebuah rumah yang disitu wahyu dan ayat-ayat Al Qur’an diturunkan.
Fatimah termasuk kelompok pertama dari kaum Muslimin yang berima kepada Allah Swt dan ia begitu tegar dan kukuh dalam keimanannya. Saat itu rumah yang dihuni Fatimah adalah satu-satunya rumah di kawasan Jazirah Arab dan dunia yang meneriakkan suara tauhid: “Allahu Akbar”.
Az Zahra adalah satu-satunya perempuan belia di Mekkah yang mencium dan
merasakan aroma tauhid di sekitarnya. Ia berada di rumahnya sendirian.
Ia melalui masa kanak-kanaknya sendirian. Dua saudara perempuannya, yaitu Ruqayyah dan Kultsum berusia lebih tua beberapa tahun darinya. Barangkali rahasia di balik kesendirian ini adalah bahwa Fatimah sejak kecil harus memfokuskan perhatiannya pada latihan fisik dan pendidikan spiritual. Setelah menikah dengan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib, Fatimah tampil sebagai wanita teladan sepanjang masa.
 Putri Nabi saw ini bukan hanya teladan bagi kehidupan suami-istri dan menjadi potretkeluarga Muslimah ideal, melainkan ia pun menjadi teladan dalam masalah ketaatan dan ibadah kepada Allah Swt.
Setelah selesai mengerjakan tugas rumah, Fatimah sibuk beribadah. Ia menunaikan shalat, berdoa, dan bermunajat di hadapan Sang Maha Esa serta mendoakan orang lain. Imam as Shadiq as meriwayatkan hadis yang sanad-nya (mata raktai perawi) bersambung ke Imam Hasan bin Ali as yang berkata: Aku melihat ibuku Fatimah as yang sedang menunaikan shalat di mihrabnya pada malam Jum`at dimana ia rukuk dan sujud sampai fajar Shubuh
menyingsing. Dan aku mendengarnya berdoa untuk kaum mukminin dan kaum
mukminat dan ia menyebut nama-nama mereka serta memperbanyak doa untuk
mereka, bahkan ia tidak berdoa untuk dirinya sendiri sedikit pun.
 Lalu aku bertanya kepadanya: Wahai ibu, mengapa engkau tidak berdoa untuk
dirimu sendiri sebagaimana engkau berdoa untuk orang lain? Ia menjawab:
Wahai anakku, sebaiknya (mendoakan) tetangga dulu lalu (penghuni) rumah
(diri kita dan orang-orang yang dekat dengan kita)
.[11]
E.     TASBIH AZ ZAHRA DAN KEUTAMAANNYA
Fatimah berkata kepada ayahnya: Wahai ayahku, aku tidak tahan lagi mengurusi
rumah. Carikanlah pembantu untukku yang dapat meringankan pekerjaan
rumahku. Rasul berkata kepadanya: Wahai Fatimah, apakah kamu tidak menginginkan sesuatu yang lebih baik dari pembantu? Ali berkata: Katakanlah, iya. Fatimah berkata: Wahai ayahku, apa yang lebih baik dari pembantu?  Rasul saw menjawab: Engkau bertasbih kepada Allah SWT pada setiap hari sebanyak 33 kali dan engkau bertahmid sebanyak 33 kali dan bertakbir sebanyak 34 kali. Semuanya berjumlah 100 dan memiliki kebaikan dalam timbangan.
 Wahai Fatimah, bila engkau mengamalkannya pada setiap pagi hari maka Allah akan memudahkan urusan dunia dan akhiratmu.[12]
Berkenaan dengan firman Allah, "Dan kaum pria dan kaum wanita yang banyak
berzikir kepada Allah," Imam ash Shadiq berkata: Barangsiapa terbiasa
membaca tasbih Fatimah as maka ia termasuk kaum pria dan kaum wanita yang banyak berzikir.[13]
 Diriwayatkan dari Imam Baqir as yang berkata: Rasulullah saw berkata
kepada Fatimah, Wahai Fatimah, bila kamu hendak tidur di waktu malam
maka bertasbihlah kepada Allah sebanyak 33 kali danbertahmidlah sebanyak 33 kali dan bertakbirlah sebanyak 34 kali.
Semuanya berjumlah seratus. Dan pahalanya lebih berat dari gunung emas Uhud dalam timbangan akhirat.[14]
Diriwayatkan dari Abi Abdillah ash Shadiq yang berkata: Tasbih Fatimah as setiap hari usai shalat lebih aku sukai daripada shalat seribu rakaat dalam setiap hari.[15]
Imam Shadiq as berkata: Barangsiapa bertasbih dengan tasbih Fatimah as sebelum ia membentangkan kakinya dalam shalat fardhu maka Allah akan mengampuninya. Dan hendaklah ia memulai dengan takbir.[16]
Diriwayatkan oleh Abi Ja`far al Baqir yang berkata: Tiada pengagungan bagi Allah yang lebih utama daripada tasbih Fatimah.[17]
Imam Baqir as berkata: Barang siapa bertasbih dengan tasbih az Zahra kemudian ia beristigfar maka ia akan diampuni. Ia (tasbih itu) berjumlah seratus namun bernilai seribu dalam timbangan dan ia Mampu mengusir setan dan membuat Tuhan Yang Maha Pengasih ridha.[18] Imam ash Shadiq as berkata: Barangsiapa bertasbih dengan tasbih Fatimah as usai shalat fardhu sebelum ia membentangkan kedua kakinya maka Allah akan menyediakan surga baginya.[19]  Imam ash Shadiq as berkata: Barangsiapa bertasbih dengan tasbih Fatimah as yang berjumlah seratus usai shalat fardhu sebelum ia membentangkan kedua kakinya lalu diikutinya dengan membaca "lailaha illallah" sebanyak satu kali maka ia akan diampuni.[20] "Tasbih Az Zahra" ini terdapat juga dalam kitab-kitab muktabar Ahlussunah dan cukup populer di kalangan kaum Muslimin.
1.                   Ilmu Fatimah az Zahra
Segala rahasia ilmu yang didapatkannya dari ayahnya dicatat oleh Ali
bin Abi Thalib lalu Fatimah mengumpulkannya sehingga jadilah kitab yang bernama Mushaf Fatimah.
2.                   Mengajari Orang Lain
Abu Muhammad al Askari berkata: Seorang wanita datang ke Fatimah az Zahra
dan berkata: Sesungguhnya saya mempunyai seorang ibu yang lemah dan ia
memakai sesuatu saat mengerjakan shalatnya, dan ia mengutusku untuk menemuimu dan bertanya padamu. Lalu Fatimah menjawab pertanyaannya. Wanita tersebut berkata: Aku tidak ingin merepotkanmu wahai Putri Rasulullah saw. Fatimah menjawab: Datanglah kemari dan tanyalah apa yang tidak jelas bagimu. Apakah engkau mengira seseorang yang sehari
disewa untuk mendaki tanah dengan membawa muatan yang berat dimana upahnya seratus ribu Dinar, lalu ia keberatan melakukan itu? Wanita tersebut menjawab: Tidak! Ketahuilah bahwa aku—dalam setiap masalah (pertanyaan) yang aku selesaikan—diupah lebih besar dari permata yang ada di antara bumi dan arasy. Sehingga karena itu, aku tidak merasa berat sama sekali.[21]
Fatimah berusaha memperkenalkan tugas dan kewajiban para wanita dengan cara mengajari mereka hukum dan pengetahuan Islam. Keberhasilan pendidikan Fatimah ini bias kita lihat pada sosok anak didiknya yang sekaligus pembantunya yang bernama, Fidhah. Fatimah berhasil menyulapFidhah menjadi wanita istimewa dimana selama dua puluh tahun ia hanya berbicara dengan Al Quran.
Setiap kali Fidhah menginginkan sesuatu atau menjelaskan sesuatu maka ia mengutip ayat Al Qur'an yang sesuai dengan keinginan dan maksudnya, sehingga dimengerti oleh lawan bicaranya. Fatimah bukan hanya tidak pernah mengenal lelah dalam mempelajari ilmu,
bahkan dalam menjelaskan masalah-masalah agama ke orang lain pun ia selalu bersemangat dan sabar melayani pertanyaan orang-orang yang merujuk kepadanya. Suatu hari seorang wanita datang padanya sembari berkata: Aku memiliki ibu yang sudah lanjut usia. Ibuku salah mengerjakan shalatnya lalu ia mengutus aku untuk bertanya kepadamu. Az Zahra pun menjawab pertanyaannya. Wanita itu pun datang kembali dan menyampaikan pertanyaan kedua. Fatimah pun menjawabnya. Hal ini terus berulang sampai sepuluh kali.
 Setiap kali wanita itu datang, ia merasamalu karena lagi-lagi datang ke Fatimah dan menganggunya. LaluWanita itu berkata kepada Fatimah: Aku tidak akan pernah merepotkanmu kembali. Fatimah menjawab: Tidak menjadi masalah bagiku, datanglah kemari lagi dan lontarkanlah pertanyaanmu. Aku tidak akan pernah marah atau capek melayani pertanyaanmu. Sebab, aku mendengar  ayahku bersabda: Pada hari kiamat para ulama pengikut kami akan dikumpulkan dan akan diberikan pakaian (sebagai hadiah) yang berharga kepada mereka. Kualitas pakaian tersebut disesuaikan dengan kadar usaha mereka di bidang pengarahan dan pemberian bimbingan kepada hamba-hamba Allah.
3.                   Ibadah Fatimah az Zahra
Hasan Basri (wafat tahun 110 H), salah seorang abid (ahli ibadah) dan seorang
sufi terkenal mengatakan bahwa Fatimah az Zahra begitu luar biasa dalam beribadah sehingga [seperti ayahnya Rasulullah saw] kedua kakinya bengkak. Hasan Basri juga menegaskan bahwa tidak ada seorang pun ditengah umat yang mampu menandingi zuhud, ibadah dan ketakwaan Fatimah.
4.                   Kalung Yang Penuh Berkah
Pada suatu hari Rasulullah saw melakukan perjalanan. Saat itu Ali mendapatkan sedikit ganimah lalu ia menyerahkannya kepada Fatimah. Putri Nabi saw ini memakai dua gelang dari perak dan ia menggantung kain diatas pintunya. Ketika Rasulullah saw datang maka ia memasuki masjid lalu ia menuju rumah Fatimah sebagaimana yang biasa dilakukannya. Fatimah berdiri gembira menyambut ayahnya. Rasul saw melihat dua gelang yang terbuat dari perak yang ada di tangannya, juga kain yang tergantung di atas pintunya. Lalu beliau duduk sambil memandanginya. Fatimah pun menangis dan sedih. Kemudian ia memanggil kedua putranyadan mencabut kain penutup yang dipasangnya dan kedua gelangnya sambil berkata kepada mereka: Sampaikan salam kepada ayahku dan katakana kepadanya, kami tidak membuat sesuatu yang baru selain ini. Serangkanbenda ini kepadanya sehingga ia dapat menginfakkannya di jalan Allah.Kemudian Rasul saw berkata: Semoga Allah SWT merahmati Fatimah dan memberinya pakaian dari pakaian surga dan memberinya kalung dari surga.[22]
Seorang Arab Baduwi datang kepada Nabi saw dan berkata: Wahai Nabi Allah, aku
sedang lapar maka berilah aku makanan dan aku telanjang maka berilah aku pakaian dan aku adalah orang fakir maka bantulah aku. Lalu Nabi saw berkata kepadanya: Aku tidak memiliki sesuatu yang dapat aku berikanpadamu, namun orang yang menjadi pembimbing atas kebaikan sama dengan pelaku kebaikan tersebut. Pergilah kami ke rumah orang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya dan Allah dan Rasul-Nya pun mencintainya. Saat itu Ali, Fatimah dan Rasulullah saw belum makan selama tiga hari. Kemudianorang Arab Baduwi tersebut datang kepada Fatimah dan meminta bantuan padanya. Fatimah memberinya kalung yang tergantung di lehernya dimana
kalung tersebut merupakan hadiah dari putri pamannya Fatimah binti Hamzah bin Abdul Muthhalib. Fatimah berkata kepada orang tersebut: Ambillah ini dan juallah. Semoga Allah menggantimu dengan apa yang terbaik darinya. Orang fakir itu datang kepada Nabi saw sambil membawa apa yang didapatinya dari Fatimah lalu beliau menangis. Kemudian Ammar bin Yasir membeli kalung itu seharga dua puluh Dinar dan dua ratus Dirham dan ia menggenyangkan orang fakir itu dengan roti dan daging. Ammar melipat kalung itu di bawah kain dan berkata kepada budaknya, Saham: Ambillah kalung ini dan serahkanlah kepada Nabi saw dan engkau pun menjadi miliknya. Budak itu mengambil kalung tersebut dan menyerahkannya kepada Nabi saw serta memberitahukan perkataan Ammar tersebut pada beliau. Beliau berkata: Pergilah ke rumah Fatimah dan serahkanlah kepadanya serta kau pun aku serahkan padanya. Lalu budak itu  datang ke Fatimah dan memberitahukan perkataan Nabi saw padanya. Fatimah mengambil kalung tersebut dan membebaskan budak itu. Kemudian budak itu tertawa. Fatimah bertanya kepadanya: Apa yang membuatmu tertawa? Ia menjawab: Aku tertawa melihat betapa besarnya keberkahan kalung ini: Ia menggenyangkan orang yang lapar, menutupi orang yang telanjang, memampukan orang yang miskin dan memerdekakan budak dan kembali lagi ke empunya.[23] 
5.                   Peran Fatimah dalam Peperangan di Masa Awal Islam
Selama 10 tahun pemerintahan Nabi saw di Madinah, terjadi 27 atau 28 peperangan (ghazwah) dan 35 sampai 90 Sariyah. Ghazwah ialah peperangan yang langsung dipimpin oleh Nabi saw dan beliau melihat dari dekat proses terjadinya peperangan dan segala taktik dan strategi perang berada dalam control beliau langsung.
Sedangkan Sariyah adalah peperangan yang tidak langsung dipimpin oleh
Nabi saw, namun beliau menunjuk sahabatnya untuk memimpin peperangan. Terkadang Sariyah ini menyita waktu cukup lama (sekitar dua atau tiga bulan) karena jauhnya gelanggang peperangan dari Madinah. Dapat dipastikan bahwa Ali bin Abi Thalib selama menikah dengan Fatimah banyak menghabiskan waktunya di medan peperangan atau diutus sebagai
juru dakwah. Selama ketidakhadiran suaminya, Fatimah dengan baik mampu memerankan sebagai ibu yang ideal bagi anak-anaknya dan ia berhasil mendidik mereka sebaik mungkin, sehingga Ali begitu tenang meninggalkan keluarganya dan tidak pernah memikirkan urusan pendidikan anaknya dan konsentrasinya benar-benar terfokus hanya pada jihad. Selama masa ini,
Fatimah juga membantu keluarga syuhada dan berbelasungkawa kepada mereka, dan terkadang ia memotifasi para wanita yang menjadi sukarelawan yang mengobati dan menangani korban perang dan tak jarang Fatimah terjun langsung menolong para korban luka-luka akibat perang.
Dalam perang Uhud, misalnya, Rasulullah saw mengalami luka parah.
Fatimah beserta Ali, suaminya cukup bekerja keras untuk menghentikan pendarahan yang dialami ayahnya dimana sejarah menceritakan bahwa Fatimah membakar semacam jerami lalu menebarkan abunya ke luka ayahnya sehingga darahnya terhenti.
6.                   Fatimah dan Kepergian Nabi saw
Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dalam Musnad-nya dari Aisyah yang berkata: Ketika Rasulullah saw sakit, maka beliau memanggil putrinya Fatimah. Lalu beliau menghiburnya tapi Fatimah malah menangis kemudian beliau menghiburnya kembali lalu ia tertawa. Lalu aku bertanya kepada Fatimah perihal hal itu. Fatimah menjawab: Aku menangis
karena ia memberitahuku bahwa ia akan meninggal dunia sehingga aku menangis, kemudian dia memberitahuku bahwa aku yang pertama kali menyusulnya di antara keluargaku sehingga aku tertawa. Pengarang kitab Kasyful Ghummah pada juz dua dalam kitabnya mengatakan: Karakter
manusia biasanya membenci kematian dan berusaha lari darinya. Yang demikian ini karena manusia cinta dan cenderung kepada dunia—kami tidak dapat menyebutkan semua riwayat ini karena begitu panjang—sedangkan Fatimah as adalah wanita muda yang masih mempunyai anak kecil dan suami yang mulia. Ironisnya, ketika ayahnya memberitahunya bahwa ia yang tercepat di antara keluarganya yang akan menyusul Nabi maka ia merasa sedih terhadap kematian ayahnya dan justru tertawa dan bahagia karena ia pun akan meninggalkan dunia dan berpisah dengan kedua anaknya dan suaminya. Fatimah justru bergembira ketika akan menjemput mati.
Ini adalah masalah yang besar dimana manusia tidak akan mampu mengenali sifatnya dan hati tidak terbimbing untuk mengetahuinya. Hal yang demikian adalah suatu masalah yang Allah SWT mengajarkannnya kepada keluarga yang mulia ini dan suatu rahasia dimana Allah memberikan kepada mereka keutamaan dan mengkhususkan mereka dengan mukjizat-Nya dan tanda-tanda kebesaran-Nya.[24]
Diriwayatkan dari Imam Baqir as yang berkata: Sepeninggal Rasulullah saw, Fatimah
tidak pernah terlihat dalam keadaan tertawa sehingga ia meninggal dunia.[25]
Diriwayatkan dari Imam as Shadiq yang berkata: Ada lima orang yang suka menangis: Adam, Ya`qub, Yusuf, Fatimah binti Muhammad dan Ali bin Husain as. Adapun Adam, ia menangis karena harus meninggalkan surga dimana ia diletakkan di suatu lembah, sedangkan Ya`qub, ia menagisi Yusuf hingga matanya buta, sedangkan Yusuf menangisi perpisahannya dengan Ya`qub hingga terganggu karenanya para penghuni penjara, adapun Fatimah, ia menangis karena kepergian Nabi saw sehingga karenanya penduduk Madinah terganggu.
Bahkan mereka berkata kepadanya, banyaknya tangisanmu membuat kami terganggu. Lalu Fatimah pergi ke makam syuhada dan menangis di sana sampai puas lalu ia pulang. Sedangkan Ali bin Husein menangis karena kesyahidan ayahnya selama dua puluh tahun atau empat puluh tahun.[26]
Diriwayatkan bahwa Ali berkata: Ketika aku mencuci baju Nabi saw maka Fatimah
berkata, perlihatkanlah kepadaku baju itu. Lalu Fatimah menciumnya dan pingsan. Takkala aku
mengetahui hal itu maka aku menyembunyikan pakaian itu (hingga kejadian ini tidak terulang kembali).[27]
Takkala Nabi saw meninggal, Bilal tidak mau mengumandangkan azan dimana ia
berkata: Aku tidak mau mengumandangkan azan untuk seseorang setelah meninggalnya Nabi saw. Kemudian pada suatu hari Fatimah berkata: Aku ingin mendengar suara muazin ayahku yang mengumandangkan azan. Lalu hal tersebut sampai ke telinga Bilal sehingga ia mengumandangkan azan dan memulainya dengan takbir "Allahu Akbar". Fatimah mulai mengingat-ingat kebersamaannya dengan ayahnya sehingga ia tidak mampu membendung air matanya. Dan ketika Bilal sampai ke kalimat "Asyhadu anna Muhamma dan Rasulullah", Fatimah tidak kuasa menahan dirinya dan ia pun terjatuh pingsan. Kemudian mereka mengira bahwa ia telah mati dan Bilal pun tidak melanjutkan azannya. Takkala Fatimah sadar, ia meminta Bilal untuk melanjutkan azannya namun Bilal dengan berat hati menolak sambil berkata: Wahai penghulu para wanita, aku khawatir terjadi sesuatu pada dirimu. Dan Fatimah pun mengerti kecemasan Bilal dan memaafkannya. [28]
Diriwayatkan bahwa Fiddah, pembantu wanita Fatimah berkata kepada Waraqah bin
Abdullah al Azdi: Ketahuilah bahwa ketika Rasulullah saw meninggal dunia, maka orang tua dan muda sangat terguncang dengan kematiannya dimana mereka semua larut dalam tangisan. Musibah ini sangat berat dipikul oleh kaum kerabat beliau dan para sahabatnya. Dan tak seorang
pun yang lebih bersedih dan lebih banyak menangis daripada tuanku, Fatimah dimana selama tujuh hari Fatimah mengadakan mejelis ratapan. Selama hari-hari itu Fatimah tidak pernah berhenti menangis dan merintih, bahkan setiap hari tangisannya lebih banyak dari hari sebelumnya.
Dan ketika memasuki hari kedelapan, Fatimah meluapkan kesedihannya yang terpendam dimana ia meratapi ayahnya: Oh ayahku, oh pilihan Allah, oh Muhammad, oh Abu Qasim, duhai pelindung para janda dan yatim, siapa lagi yang mendirikan shalat, siapa lagi yang melindungi putrimu yang kehilangan orang tuanya! Bahkan dikatakan bahwa Fatimah kehabisan suara saat meratapi ayahnya dan sempat mengalami pingsan. Lebih jauh lagi, ia berkata: Duhai ayah, sepeninggalmu aku bak orang yang hidup sendirian. Kehidupanku dipenuhi dengan duri-duri bencana dan petaka. Sepeninggalmu banyak peristiwa besar terjadi yang membuat kami menderita dan semua jalan tertutup buat kami hingga kami tak dapat meloloskan diri. Sepeniggalmu aku kecewa melihat dunia ini dan aku senantiasa menangis.
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib bahkan membangun rumah untuk Fatimah di
Baqi yang terkenal dengan sebutan "Baitul Ahzan" (rumah kesedihan). Saat pagi hari, Fatimah membawa Hasan dan Husein ke Baqi dan menangis di sana.[29]

7.                   Akhir Hayat Fatimah
                        Diriwayatkan bahwa Abi Abdillah ash Shadiq as berkata: Fatimah meninggal pada bulan Jumadil Akhir, hari Selasa, tahun sebelas Hijrah. Diriwayatkan dari Ummu Salma, istri Abi Rafi yang berkata: Fatimah sakit. Di hari menjelang kematiannya, ia berkata: Datangkanlah untukku air! Lalu aku menuangkan air untuknya hingga ia mandi dengan air tersebut dengan cara yang terbaik. Kemudian ia berkata: Bawalah untukku pakaian yang baru hingga aku dapat memakainya. Lalu Fatimah berbaring dan menghadap kiblat dan ia meletakkan tangannya di bawah pipinya dan berkata: Sebentar lagi aku akan meninggal.[30]
Diriwayatkan dari Jabir al Anshari yang berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah saw berkata kepada Ali bin Abi Thalib as—tiga hari sebelum beliau meninggal: Salam kepadamu wahai ayah dua sekuntum bunga. Aku berwasiat kepadamu tentang dua sekuntum bungaku di dunia. Demi Allah wahai khalifahku, sebentar lagi dua sandaranmu akan roboh. Ketika Rasulullah saw meninggal, Ali as berkata: Inilah salah satu sandaran yang dikatakan Rasul saw padaku dan takkala Fatimah meninggal, Ali berkata: inilah sandaranku yang kedua.[31]
Fatimah as lahir lima tahun setelah tahun pengutusan Nabi saw dan ia meninggal
dunia saat berusia delapan belas tahun lima puluh tujuh hari, dan sepeninggal ayahnya ia hidup selama tujuh puluh lima hari.[32] Imam ar Ridha pernah ditanya tentang kuburan Fatimah as lalu beliau menjawab: Ia dimakamkan di rumahnya, namun ketika Bani Umayyah banyak datang ke
Masjid, ia berada di Masjid.[33] Ada yang mengatakan bahwa ia disemayamkan di Baqi.[34]
Fatimah mengalami sakit keras dan ia bertahan selama empat puluh hari atas sakitnya hingga ia meninggal. Saat menjelang ajalnya, ia memanggil Ummu Aiman dan Asma` binti Umais dan sambil memandang suaminya Ali, ia berkata: Wahai putra pamanku, engkau tidak pernah mendapatiku dalam keadaan berbohong dan berkhianat, dan selama aku menjadi istrimu, aku tidak pernah menentangmu. Ali menjawab: Aku berlindung kepada Allah, engkau lebih tahu tentang Allah dan lebih baik dan lebih takwa di sisi-Nya serta lebih takut kepada-Nya. Sungguh musibahmu di sisiku sama dengan musibah Rasulullah saw. Sungguh besar kematianmu. Dan kita adalah milik Allah dan kepada-Nya kita akan kembali.


BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
1.      Aisyah dilahirkan di Mekkah pada bulan Syawal tahun kesembilan sebelum hijrah dan bertepatan pada bulan Juli tahun 614 M yaitu akhir tahun kelima setelah Nabi Muhammad SAW diangkat menjadi Rasul. Ada juga yang menyebutkan Aisyah lahir pada tahun keempat-kenabian Muhammad saw.[35] Aisyah mempunyai saudara kandung laki-laki yaitu Abd. Ar-Rahman, dua saudara tiri laki-laki yaitu Abdullah dan Muhammad dan dua sudara tiri perempuanyaitu Asma’dan Umm Kulsum. Aisyah tumbuh dan dibesarkan dilingkungan Arab yang masih murni, sebab ayahnya telah menyerahkannya kepada orang Arab Badui untuk diasuh, beliau diasuh oleh sekelompok Bani Makhzum dan beliau juga tumbuh dan berkembang dilingkungan islam yang ketat dan dalam keluarga yang utuh sebab beliau dilahirkan setelah islam datang.
2.      Aisyah baru merasakan pendidikan akademis yang sebenarnya ketika ia mulai kehidupan berumah tangga bersama Rasulullah. Ia mulai belajar menulis dan membaca termasuk memmbaca Al-qur’an, diluar semua itu kemampuan menulis dan membaca sebetulnya merupakan bagian dari pembelajaran dari sifat lahiriyah, Aisyah diberkahi dengan kesempatan dan kemampuan yang sangat besar dalam mempelajari ilmu-ilmu yang esensial itu, tidak saja dalam ilmu-ilmu agama Aisyah juga mempelajari ilmu-ilmu sejarah, pengobatan dan sastra.
3.      Fatimah lahir lima tahun sebelum orang-orang Quraisy membangaun Kembali Ka’bah. Ia adalah putri bungsu Rasulullah dari istri beliau Khadijah binti Khuwailid. Pada waktu itu Rasulullah berusia 35 tahun.
                               
4.      Az Zahra adalah satu-satunya perempuan belia di Mekkah yang mencium dan
merasakan aroma tauhid di sekitarnya. Ia berada di rumahnya sendirian.
Ia melalui masa kanak-kanaknya sendirian. Dua saudara perempuannya, yaitu Ruqayyah dan Kultsum berusia lebih tua beberapa tahun darinya. Barangkali rahasia di balik kesendirian ini adalah bahwa Fatimah sejak kecil harus memfokuskan perhatiannya pada latihan fisik dan pendidikan spiritual. Setelah menikah dengan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib, Fatimah tampil sebagai wanita teladan sepanjang masa.

5.      Tasbih az zahra dan keutamaannya
a.       Ilmu Fatimah az Zahra
b.      Mengajari Orang Lain
c.       Ibadah Fatimah az Zahra
d.      Kalung Yang Penuh Berkah
e.       Peran Fatimah dalam Peperangan di Masa Awal Islam
f.       Fatimah dan Kepergian Nabi saw
g.      Akhir Hayat Fatimah

B.     SARAN











DAFTAR PUSTAKA
Zaki Yamani, Ahmad (2005). Woman In Islam. London: Al-Furqan Islamic Heritage Foundation
Muhammad Ordoni, Abu (2007) Abu Fathimah: Buah Cinta Rasulullah Saw Sosok Sempurna Wanita Surga. Jakarta: Zahra fublishing house
ats-Tsiqat- III/323 al-Thabaqat-alkubra, oleh Ibnu Sa’ad VIII/46 dan al-Durr al-mantsur Fi Thabaqat-Rayyat-al-Khudur  II
Aisyah The True Beuty, Sulaiman an-Nadawi,2007
Istri-istri nabi saw. Dr. Aisyah Bintusy-Syathi’ 2004
Wanita-wanita sekitar Rasulullah Umar Ahmad ar-Rawi 2006
As-Simth ast-Tsamin hlm. 82; dan Al-Ish’ab, juz IV.
Kasyful Ghummah, juz 2
Al Bihar, juz 43
Falahu as Sa'il, karya Ibn Thawus,
Al Mahasin, juz 1
Internet





[1] ats-Tsiqat- III/323 al-Thabaqat-alkubra, oleh Ibnu Sa’ad VIII/46 dan al-Durr al-mantsur Fi Thabaqat-Rayyat-al-Khudur  II/46
[2] Aisyah The True Beuty, Sulaiman an-Nadawi,2007:hal 3
[3] Istri-istri nabi saw. Dr. Aisyah Bintusy-Syathi’ 2004: hlm. 115
[4] Wanita-wanita sekitar Rasulullah Umar Ahmad ar-Rawi 2006  hlm. 1
[5] Wanita-wanita sekitar Rasulullah Umar Ahmad ar-Rawi 2006  hlm. 4
[6] Wanita-wanita sekitar Rasulullah Umar Ahmad ar-Rawi 2006  hlm. 5
[7] As-Simth ast-Tsamin hlm. 82; dan Al-Ish’ab, juz IV, hlm. 1885.
[8] As-Samhudiy, juz III, hkm. 913
[9] ibn Sa’ad III/11, al-Ishabat-(Kitab Wanita, biografi ke-730), Shifat-al-Shafwat-II/3, al-Durr Al-Mantsur I/547
[10] Wanita-wanita sekitar Rasulullah Umar Ahmad ar-Rawi 2006  hlm. 109-110
[11] Kasyful Ghummah, juz 2, hal. 468
[12] Bihar al Anwar, juz 43, hal. 134
[13] Majma` al Bayan, juz 8, hal. 358
[14] A`lam an Nisa' al Mu'minat, hal. 552
[15] Kasyful Ghummah, juz 2, hal. 471
[16] Tsawabul A`mal, hal 164
[17] Al Bihar, juz 43, hal. 64
[18] Tsawabul A`mal, hal 163
[19] Falahu as Sa'il, karya Ibn Thawus, hal. 152
20 Al Mahasin, juz 1, hal 30
21 Al Bihar, juz 2, hal. 3
22 Al Bihar, juz 43, hal. 83-84
23Al Bihar, juz 43, hal. 56-58
24 Kasyful Ghummah, juz 2, hal. 454-455
25 Kasyful Ghummah, juz 2, hal. 498
26 Ibid
27 Al Bihar, juz 43, hal. 107
28 Ibid
29 Al Bihar, juz 43, hal. 175-176
30 Al Bihar, juz, 43, hal. 172, dan al Ishabah, juz 4, hal. 379
31 Al Bihar, juz, 43, hal. 173
32 Al Kafi, ju 1, hal. 458
33 Al Kafi, juz 1, hal. 461
34 Al Bihar, juz, 43, hal. 187
[35] Wanita-wanita sekitar Rasulullah Umar Ahmad ar-Rawi 2006  hlm. 1